Banyuwangi, Jatim | suaranasionalnews.co.id – Proyek drainase yang dikerjakan oleh Dinas Pekerjaan Umum, Cipta Karya, Perumahan dan Permukiman (DPU CKPP) Banyuwangi menuai sorotan tajam. Pasalnya, pelaksanaan proyek penanggulangan banjir yang tersebar di delapan titik rawan banjir itu diduga tidak disertai papan informasi memadai dan tanpa kejelasan pagu anggaran di masing-masing lokasi.
Pekerjaan tersebut diklaim sebagai program rutinitas antisipasi banjir, namun dari penelusuran di lapangan, tak ditemukan detail nilai kontrak, sumber anggaran, hingga pihak pelaksana secara terbuka, sebagaimana mestinya dalam proyek yang menggunakan dana publik.
Saat dikonfirmasi, Plt. Kepala Dinas PU CKPP, Suyanto Waspo Tondo Wicaksono, hanya menjawab singkat, “Itu langsung hubungi Pak Suyatno selaku penanggung jawab.,dan Hal2 tehnis gini saya delegasikan teman2 bidang Mas Bro, monggo ditemui saja, Saya masih di Jakarta ” ucap Yayan, panggilan akrab pejabat yang definitif sebagai Kepala Bappeda Banyuwangi ini.
Suyatno, pejabat teknis di Bidang Permukiman, mengaku bahwa pekerjaan dilakukan secara bertahap berdasarkan tingkat kerawanan banjir. Ia juga menyebut bahwa nilai pekerjaan bervariasi.
“Ada yang Rp10 juta, ada yang Rp20 juta tergantung kondisi di titik banjir. Pekerjaan ini bersifat rutin dan langsung dikerjakan di lapangan,” jelas Suyatno melalui sambungan WhatsApp, Senin (28/7/2025).
Namun hingga berita ini ditayangkan, tidak ada papan nama proyek yang memuat informasi nilai anggaran, kontraktor pelaksana, dan nomor kontrak sebagaimana diamanatkan regulasi. Masyarakat pun mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas pekerjaan yang menyangkut dana publik tersebut.
Menanggapi hal ini, Ketua Rumah Advokasi Kebangsaan Banyuwangi, Hakim Said, S.H., menilai bahwa pelaksanaan proyek drainase tanpa informasi terbuka merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah. “Setiap pekerjaan yang menggunakan dana APBD wajib mencantumkan papan nama proyek secara lengkap. Ini diatur dalam Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, serta Perda Banyuwangi No. 1 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Ketidakjelasan anggaran dan ketiadaan papan nama bisa dikategorikan sebagai pelanggaran administratif, bahkan berpotensi pidana korupsi,” tegasnya.
Hakim Said menambahkan, jika terbukti ada unsur kesengajaan menyembunyikan nilai pekerjaan untuk menghindari pengawasan, maka hal tersebut bisa dijerat dengan Pasal 3 dan 9 Undang-Undang Tipikor.
“Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kewenangan hingga merugikan keuangan negara, bisa dipidana hingga 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar,” jelas pria alumni Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan ke-2 tahun 2006 di Unej.
Lebih lanjut, ia juga mengingatkan bahwa pelanggaran transparansi ini dapat mencederai prinsip good governance dan menimbulkan distrust masyarakat terhadap pemerintah.
“Ini bukan sekadar papan proyek, tapi menyangkut transparansi dan kontrol publik. Kalau setiap titik pekerjaan berbeda nilai tapi tidak dilaporkan dengan jelas, bagaimana masyarakat bisa mengawasi?” pungkasnya.
Rumah Advokasi Kebangsaan mendesak agar Inspektorat Daerah dan DPRD Banyuwangi segera melakukan audit dan evaluasi terhadap proyek tersebut. Penelusuran asal anggaran, proses penunjukan pelaksana, dan pertanggungjawaban teknis harus dibuka ke publik untuk memastikan tidak terjadi praktik manipulatif yang merugikan keuangan negara. (Hry)